Panduan Penggunaan Tiga Pilar Agile


1. Nilai Kondisi Organisasi

Sebelum melakukan apapun, pastikan ada "Why?"-nya. Karena semua bermula dari niat.

Kenapa Anda ada di website ini? Seorang praktisi seharusnya menjawab “karena saya ingin meningkatkan ketangkasan organisasi saya”. Kenapa? Bisa karena kondisi yang dirasa lambat; kompetitor yang makin banyak dan hebat-hebat; atau karena kas yang sudah menipis.

Setelah itu, coba cari pilar(-pilar) yang tepat untuk difokuskan, dengan menjawab pertanyaan berikut, “Apakah kita kurang tangkas karena:

  • kurang cepat mengambil keputusan terkait apa yang akan dikembangkan?” -> Pilar 1
  • kurang cepat mengembangkannya?” -> Pilar 1
  • yang dirilis selalu salah alias tidak laku?” -> Pilar 2
  • anggota organisasi pasif semua?” -> Pilar 2
  • terlalu sibuk rekrutmen akibat turnover tinggi?” -> Pilar 3 & Pilar 2

Gunakan software my3pa untuk lebih detailnya.

Tapi di satu pilar saja ada banyak praktik, bingung saya :(. Untungnya, Anda memang diminta fokus. Fokus melakukan apa?

2. Lakukan Praktik-Praktik ‘Transparansi Organisasi’ Terlebih Dahulu (Tips: Mulai dari Pimpinan), Demi Budaya Saling Percaya di Organisasi.

Jika ingin semua orang tangkas berinisiatif memperbaiki diri, berikan otonomi. Jika ingin otonomi bisa berjalan, harus ada trust. Jika ingin ada trust, harus ada transparansi dua arah.

Ini yang hilang di mayoritas implementasi Scrum/Kanban/XP/SAFe/Less/Nexus/dll: budaya organisasi yang penuh rasa percaya (trust). Akibatnya, bingkai kerja tidak bisa benar-benar berjalan. Contoh: Scrum mewajibkan estimasi lama pengerjaan datang dari tim developer. Di lapangan, mereka tetap dicekoki deadline. Alasannya, jika diberikan kebebasan menentukan estimasi, tim developer akan mengulur-ngulur waktu agar bisa kerja santai. Pimpinan tidak punya trust pada tim developer. Hal sebaliknya juga terjadi.

Terkait trust, Scrum sendiri sudah punya ‘Transparansi’ sebagai salah satu pilar & ‘Respect’ sebagai salah satu nilai. Tapi Anda tahu, manusia tidak bisa diinstruksikan hal-hal abstrak seperti nilai-nilai. Manusia butuh panduan hidup yang konkrit.

Di sisi lain, bingkai kerja agile software development tidak menyentuh pimpinan organisasi—hanya tim pengembangan. Padahal pimpinan-lah yang jadi jangkar budaya organisasinya.

Untungnya, perspektif Tiga Pilar Agile punya praktik-praktik konkrit & bisa menyentuh pimpinan organisasi. Contoh: Kanban Pribadi CEO, Retrospektif Organisasi.

Setelah praktik-praktik transpansi pimpinan di atas dilakukan, lalu terbukti meningkatkan budaya trust di organisasi, implementasi di level eksekutor jadi lebih mudah. Itu karena pimpinan telah memberikan contoh. Berikut beberapa praktik-praktik transparansi yang bisa digunakan di level eksekutor: Papan Kanban Proyek, Papan Kanban , Retrospektif Tim.

NB: Harus diakui Low Trust Society adalah masalah multi-dimensi di semua pojok muka bumi ini. Secara global, sepanjang waktu, orang makin tidak percaya dengan orang lain (game ini menunjukkan kenapa). Parahnya lagi, menurut Indeks Persepsi Korupsi negara-negara, Indonesia termasuk low trust society,—jadi start-nya saja sudah jelek. Maka dari itu, startegi fokus di praktik-praktik ‘Transparansi’ di awal amat penting. Karena praktik-praktik Transparansi meminimalisir miskomunikasi.

Nasihat sukses dalam karir & bermasyarakat dari game ncase.me/trust: 1) Buka peluang untuk terus berinteraksi. 1) Berikan bayangan bahwa semua bisa sama-sama untung. 2) Minimalisir miskomunikasi sebisa mungkin.

3. Lakukan Praktik ‘MVP’

Apakah praktik-praktik ‘Transparansi Organisasi’ di atas adalah yang paling penting? Jawabannya, tidak. Praktik-praktik tersebut bagus karena rasa saling percaya yang tinggi adalah pra-syarat bagi organisasi yang ingin mempertangkas dirinya.

Kalau sebuah organisasi sudah punya rasa percaya yang tinggi, apakah masih butuh?

Kalau konteks pelakunya bukan organisasi, melainkan individu — misalnya pendiri startup yang masih sendiri dan kebetulan seorang programmer handal? Tentu tidak butuh.

Satu praktik agile yang paling penting — karena selalu dibutuhkan organisasi maupun individu setiap saat — adalah ‘Minimum Viable Product’ (MVP). Dengan mempraktikkan MVP, segala inisiatif akan diperkecil sekecil-kecilnya, segera dirilis, dan segera dipelajari hasilnya. Sehingga apapun keputusan selanjutnya, diambil berdasarkan data empirik terbaik.

Itu adalah inti dari Pilar 1 & Pilar 2. Artinya, pimpinan organisasi yang tidak mempraktikkan MVP — dengan punya target rilis produk/fitur yang besar — sudah pasti tidak tangkas.

Pilar 3 di mana? Berarti bangungan akan roboh dong? Maka dari itu, jika Anda sebuah organisasi, Anda disarankan terlebih dahulu menerapkan praktik-praktik ‘Transparansi Organisasi’. Pilar 3 sudah ditegakkan organisasi di sana. Kalau Anda individu, penegak Pilar 3 adalah rasa kantuk Anda sendiri & fakta bahwa hanya Anda yang membaca kode software Anda. ;)

4. Baru Lanjut ke Praktik-Praktik Lain

Kenapa harus sesudah praktik ‘Transparansi Organisasi’?
Sesudah trust dan komunikasi meningkat, barulah bisa nyaman fokus di praktik-praktik lain—sebut saja ‘Kompetensi’.

Bila dibalik (implementasi ‘Kompentensi’ dulu baru ‘Transparansi Organisasi’), pengenalannya akan lebih sulit. Karena anggota tim belum punya insentif untuk mengubah diri jadi lebih baik. Karena Hey! Berubah itu saja sudah susah.

Ditambah, praktik-praktik transparansi—selain meningkatkan trust—juga membuat komunikasi & kolaborasi organisasi meningkat. Komunikasi & kolaborasi adalah fondasi kerja tim. Fokus terhadap praktik-praktik Transparansi terlebih dahulu.

Kenapa harus sesudah praktik ‘MVP’?
Sesudah menerapkan MVP, barulah bisa nyaman fokus di praktik-praktik lain—sebut saja ‘Kompetensi’. Kenapa?

Karena:

  1. Sekali lagi: pimpinan yang tidak paham & mempraktikkan MVP sudah pasti berada di organisasi yang tidak tangkas.
  2. Karena tujuan praktik-praktik lain (‘Kompetensi’) tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki MVP itu sendiri. Lewat apa?
    • Mempersingkat ‘lead time’ — waktu tunggu dari ide muncul sampai fitur dirilis (praktik-praktik Pilar 1);
    • Memahami rasa sakit & kebutuhan pengguna agar bisa mendefinisikan MVP yang minimal namun tepat (praktik-praktik Pilar 2).

Kontributor halaman ini:

  • Ramot Stephanus (atas idenya untuk mengangkat praktik-praktik Transparansi ke permukaan, khususnya pada pimpinan).

Ada Pengalaman Pribadi? Ada Ide Untuk Memperbaiki Panduan Ini?

Langgan: grup · channel · email/WA